Bubur Sumsum

Hari ini saya punya mimpi baru. Bukan tentang destinasi yang akan dikunjungi, kuliner yang ingin dicicipi, ataupun kamu yang selalu sukses membuat gundah hati. Namun, mimpi tentang menerapkan ilmu yang sedang saya timba di kampus hijau tertinja, eh tercinta.

Saya suka jalan-jalan. Lingkungan terdekat saya tau betul akan hal itu. Jangankan yang dekat, teman jauh yang terakhir ketemu pake seragam putih abu pernah bertanya, “Udah ke gunung mana aja, Git?” Padahal waktu itu saya belum suka naik gunung. Atau ada juga yang nyeletuk, “Suka naik gunung kok masuk Kesmas?” #jleb

Kesmas? Apaan sih? Puskesmas maksudnya? Oh, yang nantinya kerja di Puskesmas ya? Sebagian teman ibu berpikir seperti itu saat saya menyebutkan jurusan yang berhasil saya dapatkan di kampus hijau. Cih, sempit banget. Tapi, gak jarang bikin saya nge-down. Karena saya sendiri belum tau prospeknya bagaimana dan nanti mau jadi apa.

Honestly, ini bukan jurusan yang saya inginkan selepas dunia putih abu. Ya, manusia memang sulit dipuaskan. Awalnya, saya ingin masuk Teknologi Industri Pertanian IPB. Kenapa? Simpel aja, I love plants. Dan saya suka alam. Tapi, ortu kurang setuju. Katanya kurang menjanjikan.

Kedua, saya ingin masuk Psikologi Undip. Kalau yang ini karena saya suka memperhatikan orang-orang. Reaksinya. Pemikirannya. Tindakannya. Seems sooo interesting. Lagi-lagi ortu gak setuju. Yang ini pake “banget”.

Sebagai anak keturunan Jawa yang adatnya halus, saya gak banyak protes. Adat yang mengajarkan untuk “manut” sama orang tua. Lebih tepatnya, waktu itu saya belum cukup berani untuk mendebat ortu perihal studi yang ingin saya ambil. Percaya bahwa ucapan dan pilihan ortu selalu yang terbaik buat anak-anaknya. Ya, ada benarnya.

Hari-hari awal menyandang status baru sebagai mahasiswa terasa biasa saja. Ospek yang membosankan, ribet cari kosan dan pindahan, bawa buku setebal ganjelan pintu, kantin penuh mulu, dosen killer bikin ngelus dada, tugas yang tiada habisnya, dan segala macam penyesuaian yang harus dilakukan dengan lingkungan baru. Seperti teori evolusi Darwin, makhluk hidup yang tidak mampu beradaptasi akan mengalami seleksi alam.

Karena voting saya setiap minggu selalu tinggi, saya tidak tereliminasi *krik*. Di balik pasang surutnya dunia kampus, pemikiran saya kian terbuka. Saya mulai mengintip dunia sedikit demi sedikit. Bacaan yang dulunya bergenre “teenlit” kini ter-upgrade menjadi buku nonfiksi, motivasi, perjuangan hidup, kesehatan, lingkungan, perilaku, dsb. Ternyata banyak buku menarik yang gak melulu tentang romansa. Banyak penulis hebat dengan sejuta pemikirannya di luar sana.

Dari buku-buku itulah wawasan saya bertambah. Tak jarang kejadian-kejadian didalamnya mampu membuat saya sejenak berefleksi. Memutar potongan demi potongan film bergulir ke belakang. Kenapa waktu itu gue gak tegas sama ortu tentang jurusan yang gue mau? Kenapa waktu itu gue gak berani? Kenapa?! Sekarang udah terlanjur!

Kalau mau nyontek dari buku peribahasa: nasi sudah menjadi bubur. Tidak akan bisa diubah kembali menjadi nasi dengan cara, alat, atau formula apapun. Tapi saya yakin, sekalipun bubur tetap bermanfaat. Dan kalau boleh milih, saya mau jadi bubur sumsum. Lembek di luar, berkhasiat di dalam. Wakakak apasih.

Oke, balik ke paragraf pertama tulisan ini. Hari ini saya punya mimpi baru. Ceritanya, sore ini saya semedi di Labkom. Rekomendasi teman yang ngasih jempol atas internetnya yang cepet bak Rossi di sirkuit balapan dan suasananya yang pas buat mahasiswa tingkat akhir (baca: sepi) bak malmingnya para jomblo. Saya buka sebuah situs luar negeri yang memuat jurnal-jurnal kesehatan. Semuanya dalam bahasa Inggris. Penelitiannya unik-unik. Di berbagai negara. Saya pun tenggelam dalam lautan jurnal tersebut.

Dulu saya sempat berpikir untuk mengikuti audisi host Jejak Petualang karena saya bisa bekerja sambil menyalurkan hobi, atau malah sebaliknya. Sebisa mungkin saya menghindari kerja kantoran. Magang yang hanya sebulan saja saya bosan setengah mati. Ruangan yang sama, orang yang sama, pekerjaan yang sama. Huaaa, get me out of here.

Kegiatan mencari referensi sudah tidak efektif. Butek. Pikiran saya sudah kemana-mana. Barisan kata pada jurnal bersaing dengan barisan pepohonan pada hutan. Membayangkan tempat-tempat favorit untuk berpetualang. Lalu sebuah bohlam menyala terang di atas kepala saya seperti adegan pada film kartun. Mimpi itu melintas begitu saja di siang bolong: kenapa gak digabungkan dengan hobi jalan-jalan saya? Emang bisa? Why not?

“Kesmas itu luas. Namanya juga Kesehatan “Masyarakat”. Pasti akan selalu bersinggungan dengan masyarakat. Kamu tau kan jumlah penduduk Indonesia berapa?” ucap seorang dosen. Ah, benar juga. Kenapa gak meneliti yang unik-unik macem di jurnal luar negeri itu? Pasti seru. Kenapa gak coba ikut ambil data di pedalaman? Masih berada dalam ranah yang saya tekuni tanpa melupakan hobi yang saya gilai. Yang pintar memang banyak, tapi saya yakin Indonesia butuh kutu loncat seperti saya. Dimanapun itu. Pedalaman sekalipun. Semoga.

Mungkin berlebihan kalau bilang saya hampir menitikkan sesuatu. Whatever. Saya hanya terharu. Tiga tahun lebih menimba ilmu dan baru hari ini saya akhirnnya tau mau jadi apa nanti. Dalam bidang ilmu yang saya ragukan sebelumnya. Walaupun mimpi itu masih bisa berubah seiring berjalannya waktu. Who knows. Saya bersyukur atas petunjuk kecil yang Dia berikan.

Semoga Tuhan selalu bersama orang-orang yang sabar :)
Ayo kejar mimpimu!

Thanks to Hanny and Kurnia.

Comments

  1. siapa yang selalu sukses membuat gundah hati taa? hehe
    setelah lulus coba ikut ekspedisi khatulistiwa/pencerah nusantara/pengajar muda aja taa :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. biasa an, akang komplek sebelah haha
      iyaaa rencananya mau coba ikut Indonesia Mengajar, temenin yuk :D

      Delete
  2. indonesia mengajar biasanya buka pendaftaran agustus-september ta.. ayoook! :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. ayyu! kirain siapaaa kebomandi haha, iya ay ini lagi buka pendaftaran, thanks infonya :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sejuta Pesona Sawarna

Thrilling Geger Bentang

Another Best Escape