Singgah

Kamis, 24 September 2015. Hari dimana semua umat muslim bersuka cita menyambut hari raya kurban. Termasuk golongan kurang mampu yang hari ini mendapat berkah mencicipi satu dua potong empuknya daging sapi atau kambing dari kedermawanan golongan yang lebih mampu. Hari dimana kaum muslim menjalankan ibadah solat dua rakaat pada pagi hari, lalu bercengkrama bersama sanak keluarga setelahnya. Hari dimana para buruh Jakarta bisa berleha-leha sepanjang hari menikmati tanggal merah walaupun besok kembali bekerja. Aku? Tak kalah pagi aku bangun dan bersiap-siap menyambut hari yang indah ini. Kubasuh muka, gosok gigi, lalu bergegas menuju bandara.

Iya, bandara. Tepat dimana orang-orang pada umumnya bersyukur bisa berkumpul bersama keluarga, aku malah meninggalkan mereka demi nafsu berkelana. Tak apa, aku sudah izin dan memberikan penjelasan. Orang tuaku membolehkan walau kakakku hanya geleng-geleng kepala.

Hanya butuh 45 menit untuk mencapai Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta dari rumahku yang kata orang letaknya lebih jauh dari Pluto. Wow, kurasa ini rekor terbaik. Kali pertama aku berangkat dari terminal 3. Terminal yang katanya karya anak bangsa. Suasananya cukup nyaman dan spacey. Ada berbagai macam kedai makanan dan minuman yang tersedia di sepanjang koridor sebelum ruang tunggu yang siap menjinakkan cacing-cacing di perutmu.

Tujuanku adalah Labuan Bajo. Kota paling barat Provinsi Nusa Tenggara Timur. Aku sudah janji dengan salah seorang teman yang sedang bertugas disana untuk bertualang mengunjungi sebuah desa adat di daerah Ruteng yang konon namanya sudah mendunia. Namun, sebelum mendarat di Bajo, aku transit sejenak di Denpasar. Penerbangan menuju kota-kota di NTT rata-rata akan singgah dahulu di kota ini.

Aku punya waktu dua jam sebelum penerbangan selanjutnya membawaku ke Bajo. Teringat teman satu organisasi yang sedang bekerja disini sejak beberapa bulan lalu. Organisasi yang katanya punya rasa kekeluargaan yang begitu kuat. Bahkan sampai rambutmu memutih di makan usia. Dan entah mengapa, hal ini yang secara tidak langsung mendorongku untuk menemui Mapokalers (sebutan untuk anggota organisasi) bila sedang mengunjungi kota-kota di Indonesia dan ada satu dua mereka didalamnya. Sekedar bertemu dan melepas rindu akan serunya berkegiatan dan mengenang aroma petualangan.

Sehari sebelumnya aku telah memberi kabar kepada temanku bahwa aku akan transit di Denpasar selama dua jam, in case dia mau menemuiku untuk sekedar bertukar cerita. Kalau pun tak bisa, tak apa. Karena katanya perjalanan dari tempat kosnya ke bandara memakan waktu satu jam. Aku tak ingin dia merasa repot harus menemuiku. Tapi nyatanya dia datang. Dibalut atasan hitam dan rok floral.

Kami bercerita banyak hal. Persamaan nasib di antara kami membawa obrolan pagi ini terbungkus hangat. Kami yang sama-sama sedang bekerja jauh dari ibukota, jauh dari keluarga, mengambil risiko atas nama “keluar dari zona nyaman” tapi rindu setengah mati dengan teman-teman paling gila di Pulau Jawa. Tak kusangka pertemuan kurang dari satu jam ini memberiku insight baru dan membuatku paham beberapa hal yang tak kunjung kutemui jawabannya.

“Hiz, entah ya, kayanya gue doang yang ngalamin ini. Saat gue ada kesempatan pulang, gue berharap temen-temen gue excited akan kepulangan gue dan rebutan ketemu. Nyatanya enggak.” ungkapku.
“Hahaha. Sama, Git!” Hiz tertawa renyah.
“Iya, awalnya gue mikir, gue kan kerja jauh, jarang pulang, pasti temen-temen gue bakal kangen sama gue dan pada pengen ketemu gitu, mumpung gue lagi balik. Ternyata ekspektasi gue ketinggian. Gak semua inisiatif ngajakin ketemu.”
“Gue juga sempet ngerasain itu, Git. Pas gue balik, gue pengen banget ketemu temen-temen gue tapi ternyata ada aja halangannya. Jadwalnya gak sama lah. Lagi ke luar kota lah. Dan akhirnya gue sadar kalo saat ini temen-temen gue juga punya kesibukan masing-masing dan gue gak bisa maksain. Bisa ketemu syukur, enggak ya udah.  Sempet ngerasa sedih sih, tapi ya udah lah. Kita memasuki tahap dimana temen-temen kita sedang berjuang mengejar mimpinya masing-masing, begitu pun dengan kita.” timpal Hiz bijak.

Ah, Hiz! Aku seperti mendapat pemahaman baru. Tiba-tiba Hiz bicara lagi.

“Lo tau gak sih, orang-orang yang kerjanya jauh trus update foto-foto bagus di media sosialnya seakan dunia harus tau kalo hidupnya bahagia, itu bukan semata karena mau nunjukkin betapa asyiknya hidup mereka, lebih dari itu, sebenernya mereka kesepian.”

Jleb! Aku sungguh tertohok. Hiz benar.

Selepas kuliah, aku seperti direpotkan dengan mimpi-mimpi normatif. Mimpi manusia remaja dewasa yang sudah tiba waktunya untuk bekerja, mencari penghasilan sendiri, membangun rumah tangga, dan mimpi normatif lainnya. Hal-hal tersebut menjelma fase yang mau tidak mau harus dilalui para remaja dewasa selepas meninggalkan status mahasiswa.  Dan kadang yang membuatku jengah, topik-topik itu kerap dibicarakan oleh lingkungan sekitar akhir-akhir ini.

Hahaha. Kadang aku tertawa getir. Like, I don’t know how to act my age. Jauh di dalam hati aku masih ingin memacu adrenalin. Akan romansa dan eksotisnya Indonesia. Lingkungan yang tiba-tiba membicarakan masalah jodoh, pernikahan, rumah tangga, bahkan anak, seakan hanya itu topik paling hot untuk didiskusikan, membuatku ingin sekali berteriak, “Ya Allah, aku baru lulus kemarin. Aku mau jalan-jalan dulu!”

Kutumpahkan dua paragraf di atas kepada Hiz. Ia pun tertawa.

10.40. Boarding time. Aku pamit pada Hiz lalu berlarian menuju pintu keberangkatan yang kuakui sedikit membuatku kesal karena untuk mencapai ruang tunggu penumpang harus berjalan meliuk-liuk bagai ular tangga hanya demi melewati aneka stand cinderamata yang jikalau potong kompas rutenya hanya lurus! Bah!

Kubuka ponselku setelah mendarat di Bandara Komodo. Hiz mengunggah foto kami dengan caption:
Kedatangan teman dari kotanya adalah kebahagiaan tersendiri untuk perantau. Selamat kembali ke kota rantau mu nak! Keep fight happy and enjoy. Jangan lupa bahagia :p

Terima kasih, Hizkia. Aku akan berbahagia dengan cara yang kuyakini tanpa takut merasa berbeda dengan cara orang lain. Sampai jumpa lagi ya!


Denpasar city from heights

Comments

Popular posts from this blog

Sejuta Pesona Sawarna

Thrilling Geger Bentang

Another Best Escape