Trash Bag
Apa aku harus pergi? Meninggalkan belasan
tahun persahabatan yang telah terjalin rapi.
Apa aku harus diam? Menjadi
pendengar setia tanpa mengutarakan yang terpendam.
Apa aku harus bicara? Menyampaikan
tiap jengkal alasan tumbuhnya rasa.
Apa aku harus... Sudahlah. Berjuta
pertanyaan melintas di kepala, namun tak satu pun yang berhasil menemukan
muara.
Kita berbeda. Sangat berbeda. Dan
itulah yang menjadi cerita. Aku belum
lelah mendengarkan. Hanya terkadang bosan. Atas suara yang jarang kau
perhatikan. Teringat sebuah perumpamaan dalam salah satu novel favoritku. Tempat sampah. Ya, aku seperti tempat
sampahmu. Yang selalu menampung luapan perasaan. Yang selalu mendengarkan
kegelisahan. Yang tak pernah bolos menyimak suka duka. Juga bergegas menyembuhkanmu
bila terluka.
Kau pernah pergi. Mengejar sepotong
hati. Kemana diriku? Tenang, aku belum beranjak semili pun. Masih menjadi
tempat sampah. Yang siap menampung keluh kesah. Kau bahkan tak perlu tau kemana
aku pergi untuk mengusir sepi. Yang muncul di kala kau tak di sisi.
Lalu...
Kenapa aku tak bisa pergi? Kenapa
aku tak mau pergi? Pergi itu mudah,
bukan? Bahkan kau pernah melakukannya. Kenapa aku tidak bertindak hal yang
sama? Aku ragu. Kau takkan mencariku. Sepertinya memang kau takkan mencariku sekalipun angin membawaku.
Setiap orang punya pilihan. Setiap
orang diberi kesempatan untuk menentukan hal-hal terbaik dalam hidupnya. Aku?
Entahlah. Aku sendiri tidak tau pasti. Jawaban itu belum mampir mengetuk pertahanan
diri.
Kenapa aku tak bilang kepadamu
tentang semua ini? Mungkin kau akan berguling-guling di lantai. Menganggap aku
sedang bercanda seperti biasa. Baiklah, aku takkan merusaknya. Sebaiknya aku jangan merusaknya. Better left unsaid.
ps: Jangan khawatir, tempat sampahmu
takkan kemana-mana.
Comments
Post a Comment